Sunday, August 28, 2016

USHUL FIQIH

Selamat pagi teman-teman ini adalah salah satu contoh makalah yang dulu pernah kakak buat waktu masih duduk di bangku kuliah. Semoga bisa membantu kalian dan bermanfaat.

BAB I
PENDAHULUAN


LATAR BELAKANG
Makalah ini di latar belakangi untuk memenuhi tugas mata kuliah USHUL FIQH semester V. Makalah ini membahas tentang pengertian, kaidah-kaidah, sejarah dan ilmu-ilmu yang membantu USHUL FIQH. Diharapkan pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat mengambil pengetahuan tentang USHUL FIQH.

RUMUSAN MASALAH
Apakah pengertian Ushul Fiqh?
Apakah Kaidah Ushul Fiqh?
Apa saja ilmu yang membantu Ushul Fiqih?
Bagaimana sejarah Ushul Fiqih?

TUJUAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui pengertian Ushul Fiqh?
Untuk mengetahui Kaidah Ushul Fiqh?
Untuk mengetahui ilmu yang membantu Ushul Fiqih?
Untuk mengetahui sejarah Ushul Fiqih?

BAB II
PEMBAHASAN


PENGERTIAN USHUL FIQH
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :

 Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :

 Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ". urut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata.
Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :

 Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni:
Artinya:
"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.


Artinya:
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
Atau seperti sabda Rasulullah SAW :


Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :

 Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :

 Artinya :
"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :

 Artinya:
"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."

KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH
Dalam ilmu keduniaan saja, kaidah-kaidah itu ada apalagi di dalam ilmu-ilmu syariat (Islam) sudah barang tentu juga ada. Seperti halnya dalam ilmu-ilmu duniawi, kaidah pokok dalam syariat Islam juga memiliki peran yang sangat penting, bahkan lebih penting dari peran kaidah-kaidah pada ilmu duniawi karena kaidah-kaidah ini menjadi dasar bagi kita agar dapat mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan benar.
Kaidah-kaidah syariat ini juga dihasilkan dari penelitian para ‘ulama baik terhadap al-Qur’an, as-Sunnah (hadits), atsar para shahabat, maupun pendapat-pendapat dari berbagai ‘ulama Islam dari zaman ke zaman. Karena merupakan hasil penelitian, maka ilmu-ilmu itu memiliki sifat dinamis atau berkembang dari masa ke masa, kecuali untuk ‘aqidah yang sifatnya baku dan tidak akan berubah sampai akhir zaman. Prinsip-prinsip atau kaidah utama ini lebih dikenal dengan istilah ushuluddin dan semua telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama.
Meskipun dinamis, tetapi Islam juga memiliki kaidah yang dipegang oleh para ‘ulama ketika mengeluarkan sebuah hukum atau dalam bahasa syariatnya istinbath. Dalam beberapa hal, kaidah-kaidah ini sangat penting untuk diketahui, tidak saja oleh para ‘ulama itu sendiri, akan tetapi juga oleh umat Islam secara umum terutama kaidah-kaidah yang sifatnya pokok (ushul).
Di bawah ini kami akan tuliskan beberapa kaidah ushul fiqh yang berkaitan dengan larangan dalam Islam yang kami ambil dari kitab Mausuu’ah : al Manaahiyyisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah yang ditulis oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ensiklopedi Larangan : Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebenarnya saya ingin menuliskan lebih dahulu kaidah-kaidah ushuluddin, tapi saya belum punya buku rujukannya. Selain itu, saya juga teringat sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang artinya :
“Tinggalkanlah sesuatu yang aku tidak anjurkan kepadamu. Kebinasaan umat terdahulu ialah karena mereka banyak bertanya dan selalu menyelisihi Nabi mereka. Jadi, apabila aku melarangmu dari sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan sesuatu kepadamu, lakukanlah semampumu” (HR Bukhari No. 7288 dan Muslim No. 1337).

Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh : Larangan Dalam Islam
Perkara-perkara yang dilarang adalah seluruh perkara yang telah turun larangan atasnya. Larangan adalah lawan dari perintah, yakni tuntutan untuk menahan diri dari satu perbuatan.
Bentuk-bentuk larangan adalah (a) Laa naahiyah (la yang menunjukan larangan), (b) Peringatan dengan menggunakan kata iyyaaka, (c) Ultimatum dan ancaman atas satu perbuatan, (d) Celaan atas pelakunya dan keharusan membayar kaffarah akibat melakukannya, (e) Perkataan laa yanbaghi (tidak sepatutnya), (f) Perkataan tersebut dalam bahasa al-Qur’an dan bahasa Rasul adalah untuk larangan secara syar’i maupun logika, (g) Lafazh maa kaana lahum kadza (tidak sepatutnya mereka melakukan ini) atau lam yakun lahum (seharusnya mereka tidak boleh melakukan ini), (h) Ancaman hukuman hadd atas pelakunya, (i) Lafazh : laa yahillu (tidak halal) atau laa yashluhu (tidak baik), (j) Pemberian sifat rusak dan bathil atas suatu perbuatan, misalnya perbuatan itu adalah tipu daya syaitan, perbuatan syaitan, Allah tidak menyukai dan idak meridhainya, tidak merestui pelakunya, tidak berbicara dan tidak melihatnya.
Pada asalnya, statemen syari’at yang berisi larangan terhadap suatu perkara hukumnya adalah perkara itu harus ditinggalkan secara mutlak. Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang artinya : “Jika aku melarang kalian dari suatu perkara maka tinggalkanlah” (Muttafaq ‘alaih).
Boleh jadi larangan itu bukanlah karena perbutan itu sendiri, namun karena faktor mafsadah (kerusakan) yang diakibatnya. Ini merupakan konsekuensi kaidah Saddudz Dzaraa’i atau dalam kata lain : ‘Tidakan pencegahan terhadap penyebab timbulnya mafsadah’. Kaidah ini termasuk kaidah yang sangat agung dalam syariat. Akan tetapi, perkara yang dilarang berdasarkan kaidah ini adakalanya dibolehkan untuk sebuah maslahat yang lebih besar. Sebagai contoh : Dibolehkan melihat calon istri untuk tujuan meminang dan sejenisnya. Melihat wanita bukan mahram diharamkan karena dapat menyeret kepada mafsadah (kerusakan). Dan apabila maslahat yang lebih besar lagi daripadanya, maka itu artinya perkara tersebut tidak menyeret kepada kerusakan.
Konsekuensi sebuah perkara terlarang (haram) adalah larangan terhadap seluruh perkara yang mengarah kepadanya. Termasuk di dalamnya adalah pengharaman terhadap al hiil (tipu daya atau pengicuhan) yang bermuara pada perkara yang diharamkan.
Larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap perkara yang tidak bisa dilaksanakan (larangan tersebut) kecuali dengan menjauhinya. Jika bercampur antara daging bangkai dengan daging yang disembelih secara syar’i, maka seluruhnya menjadi haram. Daging bangkai haram dimakan karena ia adalah bangkai, dan daging yang disembelih secara syar’i menjadi haram karena terdapat kesamaran padanya. Sebenarnya yang wajib dijauhi hanyalah daging bangkai saja, namun dalam kondisi seperti itu, hal tersebut tidak bisa terlaksana kecuali dengan menjauhi kedua daging itu sekaligus karena adanya kesamaran.
Pengharaman sesuatu secara mutlak berarti larangan terhadap setiap bagian-bagiannya. Kaidah menyebutkan bahwa larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap bagiannya selama tidak ada pengecualian yang shahih dan jelas.
Larangan itu menunjukan (bahwa) mafsadah yang terdapat pada perkara yang dilarang lebih besar daripada maslahatnya. Asas dasarnya adalah, setiap hamba harus meyakini bahwa apa saja yang Allah perintahkan pasti membawa maslahat dan apa saja yang dilarang oleh-Nya pasti menimbulkan mafsadah dan bencana. Oleh sebab itu, Allah memuji amal shahih dan memerintahkan supaya berlaku baik dan mengadakan perbaikan. Dan Allah melarang berbuat kerusakan, Allah tidak menyukai dan tidak meridhainya.
Jika larangan itu tertuju kusus pada sebuah perbuatan, berarti perbuatan itu rusak.
Perkara-perkara yang dilarang terdiri atas beberapa tingkatan. Ada yang jelas-jelas haram, ada yang makruh tahrim (makruh bermakna haram) dan ada yang makruh tanzih.
Lafazh-lafazh pengharaman terdiri atas beberapa tingkatan, yang paling tinggi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu, kemudian teguran dan celaan terhadap sesuatu, kemudian pengharaman terhadap sesuatu, kemudian makruhnya (dibencinya) sesuatu perbuatan.
Pada dasarnya, sebuah larangan dalam statemen syari’at konotasi hukumnya adalah haram. Konotasi hukum ini tidak boleh digeser melainkan dengan adanya pengecualian atau indikasi pengalihan hukum yang kuat.
Kata makruh dalam perkataan Allah dan Rasul-Nya dan dalam istilah ulama salaf (dahulu) biasanya digunakan untuk perkara haram, dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa ta’ala yang artinya : “Semua itu kejahatannya amat dibenci disisi Rabbmu.” (QS al-Israa’ 38).
Ulama-ulama mutaakhirin banyak yang keliru, mereka membawakan perkataan-perkataan para ulama yang menyebutkan kata ‘makruh’ kepada pengertian makruh dalam ilmu ushul fiqh yang baru dikenal kemudian. Mereka menafikan hukum haram terhadap perkara-perkara yang dikatakan makruh oleh ulama terdahulu. Kemudian mereka terlalu longgar dalam penggunaan istilah ini, mereka bawakan kepada makruh tanzih! Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi kerancuan, kekeliruan yang fatal dan kerusakan yang parah.
Makruh, menurut para ulama Ushul Fiqh Kontemporer adalah termasuk di antara lima macam hukum takfili, yaitu sesuatu yang dituntut untuk meninggalkan apa yang terkandung di dalamnya, bukan merupakan suatu kewajiban karena pelakunya tidak dicela. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkannya tidaklah dicela.
Terus-menerus mengerjakan perkara makruh dapat merusak ‘adaalah (keshalihan) dan mengeluarkan pelakunya dari golongan orang yang berhak mendapat kesaksian baik.

ILMU-ILMU YANG MEMBANTU USHUL FIQIH
Ilmu-ilmu yang erat hubunganya dengan ushul fiqih ialah :
Ilmu tauhid,yakni ilmu yang mnerangkan hokum-hukum syara’ dalam bidang I’tiqad yang diperoleh dari dalil-dalil yang qath’i/pasti berdasarkan ketetapan  Al-qur’an dan Al-hadits. Denga
Ilmu ini kita mengetahui keesaan Allah  yang menurunkan syari’at dan keberadaan Rosul yang membawa syariat islam tersebut.
Bahasa Arab karena Al-quran dan hadis itu menggunakan bahasa arab maka kita tidak akan dapat mengetahui atau menggmbil sesuatu hokum kalau tidak mengetahui bahasa arab dalam segala seluk beluknya seperti nahwu, sharaf, lughat,dan lain-lain yang berhunbungan dengan ini. Karena iru kedudukan bahasa arab sangat penting untuk mempelajari ushul fiqih.

SEJARAH USHUL FIQIH
Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan.
Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya.
Pada umumnya, sesuatu itu ada, baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan.
Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.
Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.
Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam, jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat.
Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.
Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.
Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.
Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan.
Sedangkan pendapat yang umum di kalangan ulama, bahwa ulama yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i (w. 204 H).
Imam Syafi’i menulis kitab Ar Risalah yang terkenal. Di dalamnya Syafi’i berbicara tentang Al Quran, bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma’ dan Qiyas, Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan bahasan ushul fiqh yang lain.
Syafi’i menulis Ar-Risalah dengan teliti, mendalam, setiap pendapatnya didasarkan dalil, dan mendiskusikan pendapat yang berbeda secara ilmiah, sempurna dan mengagumkan.
Setelah Syafi’i, Ahmad bin Hanbal menulis kitab tentang taat kepada Rasulullah SAW, kedua tentang nasikh dan mansukh dan ketiga tentang ‘ilat. Setelah itu, para ulama berbondong-bondong menulis, menyusun, memperluas dan menambah bahasan.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Beberapa kaidah ushul fiqh yang berkaitan dengan larangan dalam Islam :
Perkara-perkara yang dilarang adalah seluruh perkara yang telah turun larangan atasnya.
Pada asalnya, statemen syari’at yang berisi larangan terhadap suatu perkara hukumnya adalah perkara itu harus ditinggalkan secara mutlak.
Boleh jadi larangan itu bukanlah karena perbutan itu sendiri, namun karena faktor mafsadah (kerusakan) yang diakibatnya.
 Konsekuensi sebuah perkara terlarang (haram) adalah larangan terhadap seluruh perkara yang mengarah kepadanya.
Larangan terhadap sesuatu juga berarti larangan terhadap perkara yang tidak bisa dilaksanakan (larangan tersebut) kecuali dengan menjauhinya.
Pengharaman sesuatu secara mutlak berarti larangan terhadap setiap bagian-bagiannya.
Larangan itu menunjukan (bahwa) mafsadah yang terdapat pada perkara yang dilarang lebih besar daripada maslahatnya.
Ilmu-ilmu yang erat hubunganya dengan ushul fiqih ialah : Ilmu tauhid, Bahasa Arab.
Ushul Fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.


Share:

0 comments:

Post a Comment