Tuesday, May 31, 2022

MAKALAH PERAN ISLAM DALAM KEMERDEKAAN INDONESIA

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Sejarah bangsa Indonesia yang banyak menggugurkan para pahlawan dan memiliki filosofi besar adalah dalam merebut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan tidak terlepas dari umat Islam. Kaum muslim bersatu dan berjuang melawan para penjajah yang telah merampas kedaulatan rakyat Indonesia. Mengorbankan segenap jiwa raga hingga nyawa menjadi taruhannya. Mereka menjadi garda terdepan melawan penjajahan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal inilah yang menyebabkan suatu kecaman bagi para penjajah untuk lebih segan dan berhati-hati terhadap umat Islam terutama yang berada di Pulau Jawa.

Arti kata Islam berasal dari Bahasa Arab yaitu aslama-yuslimu-islaaman yang bermakna patuh dan selamat. Secara istilah Islam menurut para ahli adalah “ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar mendapatkan kebahagiaan dunia maupun akhirat”. Orang yang mengikuti ajaran Islam disebut sebagai muslim bagi laki-laki dan muslimah bagi perempuan.

Perlawanan di mulai dari kerajaan-kerajaan Islam kemudian melalui rakyat yang di pimpin oleh para ulama serta pergerakan sosial yang dilakukan disetiap daerah dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk ikut serta dalam melawan kolonial demi merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia.

 

B.     Rumusan masalah

1.      Bagaimana peran umat islam saat masa penjajahan belanda?

2.      Bagaimana strategi perjuangan pangeran diponegoro saat masa penjajahan belanda?

3.      Bagaimana sejarah awal mula masa reformasi itu muncul?

 

C.     Tujuan pembuatan makalah

1.      Untuk mengetahui peran umat islam saat masa penjajahan belanda

2.      Untuk mengetahui strategi perjuangan  pangeran diponegoro at islam saat masa penjajahan belanda

3.      Untuk mengetahui sejarah awal mula masa reformasi itu muncul

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

A.    Peran umat islam saat masa penjajahan belanda

Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta mengganti nama Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah Portugis, yaitu untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama Katolik maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan alam sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan miskin dan terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu.

Maka wajarlah jika seluruh umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para ulama dan santri di berbagai pelosok tanah air, dengan persenjataan yang sederhana: bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka bertempur habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan niat yang sama, yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952) mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai kemerdekaannya”.  Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam melawan Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai antara lain.

Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran Diponegoro dari Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun 1825-1830 bersama panglima lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam Misbah, Kyai Badaruddin, Raden Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon dalam perang Diponegoro ini sekitar 200 ribu rakyat dan prajurit Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar 8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris (memimpin perlawanan terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)

Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh misalnya Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik Ditiro, Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah, dan lain-lain.

 

 

Namun, penindasan Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia. Islam juga dijadikan lambang perlawanan imperialisme. Tidak hanya terbatas kalangan grass root, golongan bangsawan dan sultan pun menyatukan dirinya menunjang perjuangan Islam. Islam tidak hanya sebagai agama tetapi dihayatinya sebagai way of life.

a.    Ulama Pelopor Pembaruan

Munculnya kelompok ulama ini bukanlah hasil dari vooting, atau dari pengaruh karisma raja, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu sendiri yang memandang ulama sebagai kelompok intelektual Islam. Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaruan, dan pengaruh ulama pun semakin dalam setelah berhasil membina pesantren.

Pesantren tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi. Karena di hatinya telah ditanamkan ajaran jihad untuk membela agama, negara, dan bangsa dengan harta, ilmu, dan jiwanya. Keyakinan ajaran yang dijiwai Islam ini merupakan faktor psikologis yang sangat penting dalam menghadapi apapun.

Sepintas, ulama hanya terlihat sekadar sebagai pembina pesantren. Akan  tetapi peranannya dalam sejarah cukup militan. Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tidak hanya terbatas di bidang politik dan militer saja, melainkan juga bidang ekonomi. Pasar tidak hanya merupakan kegiatan jual-beli barang dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah.

 

b.    Membangkitkan Gerakan Nasional

Para ulama mencoba menggerakan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya motivasinya bangkit kembali di bidang ekonomi perdagangan. Untuk keperluan ini, H. Samanhudi (1868-1956 M) mendirikan Serekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905. Setahun kemudian diubahnya menjadi Serekat Islam (SI)

H. Samanhudi dalam usahanya membangkitkan motivasi ekonomi perdagangan dan politik, tidak menempuh jalan membentuk organisasi politik. Sebab, saat itu kegiatan partai politik (parpol) dilarang oleh pemerintah Belanda, karenanya didirikanlah SDI atau SI. Tetapi Belanda melihatnya dari segi lain, bahwa dengan adanya organisasi atau perserikatan diartikan sebagai usaha membina persatuan, sebagai cara baru dalam Kebangkitan Islam. Apalagi aktivitas SDI selanjutnya membentuk kerja sama dagang antara Islam dan Cina Kong Sing.

Sedangkan Belanda sejak abad ke-18, berusaha mencegah asimilasi antara Cina dan Islam. Menurut Mansur dalam Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, kesatuan Cina dengan umat Islam akan mudah dijalaninya, karena latar belakang sejarahnya memudahkan kesatuan tersebut. Sebagai semisal hubungan umat Islam Cirebon dengan Cina pada abad ke-15, yang dikisahkan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari bahwa panglima Wai Ping dan Laksamana Te Bo beserta pengikutnya mendirikan mercusuar di bukit Gunung Jati.

Kesatuan Cina dalam Susuhunan Mataram yang disertai dengan masuknya Cina ke dalam agama Islam, mengilhami Belanda untuk melahirkan kebijakan yang berusaha memisahkan asimilasi antara Islam dengan Cina. Cina, di satu pihak, dicegah untuk mendapatkan monopoli atas tanah dan merampas tanah milik orang-orang Jawa; di lain pihak, suatu kemajuan menuju asimilasi Cina ke dalam masyarakat Jawa akan melahirkan kesatuan masyarakat baru, berusaha dicegah oleh Belanda. Kebijakan Belanda yang mencegah terjadinya asimilasi pada abad ke-20 adalah terletak pada latar belakang sejarah mereka (Cina dan Indonesia). Negara Cina juga sedang berjuang menentang imperialism Barat, sedangkan Indonesai memiliki sejarah yang sama. Karena itu bila terjadi asimilasi berarti mempercepat proses gulung tikarnya Belanda di Indonesia.[7]

 

c.    Kesatuan Islam-Priyayi

Pendekatan Islam terhadap kelompok priyayi sebenarnya bukan barang baru. Sejak awal persatuan antara Islam (ulama) dengan priyayi telah terjadi. Hanya politik divide and rule Belanda berhasil memisahkan keduanya, karena Belanda hanya menghendaki adanya plural society (masyarakat majemuk) yang tidak bersatu.

Usaha pendekatan Islam dengan kelompok priyayi mulai dirintis oleh K.H Ahmad Dahlan (1868-1923 M). Peristiwa ini terjadi sebelum beliau mendirikan Muhammadiyah. Pada 1909 K.H Ahmad Dahlan mencoba menyampaikan kuliah agama Islam kepada anggota Budi Utomo, dengan harapan kontak dengan Budi Utomo yang berangotakan priyayi dan guru-guru, dapat mengembangkan kuliahnya ke seluruh sekolah atau rakyat bawahannya.

Usaha pendekatan umat Islam terhadap golongan priyayi pada permulaan abad ke-20 mulai terlihat santer. Ternyata pengangkatan H.O.S Cokroaminoto (1882-1934 M) sebagai pemimpin SI sangat tepat. Cokro segera mengadakan reorganisasi, dan SI mulai mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum di depan Notaris B. ter Kuile (10 September 1912). Bila sekilas diamati apa yang tercantum dalam Statuten (Anggaran Dasar)-nya, memang terlihat jelas SI bukan merupakan gerakan parpol. Sekadar seperti hanya memajukan kemauan dagang, menolong kesusahan anggota.

Akan tetapi, garakannya jauh dari apa yang tertulis dalam Statulen. Jauh di sini adalah tidak merupakan ormas yang bergerak terbatas pada bidang perdagangan dan sosial saja. Hanya dalam waktu empat bulan SI telah sanggup mengadakan Kongres I di Surabaya (26 Januari 1913). Kongres ini mendapatkan dukungan massa rakyat yang luar biasa. Balanda ketakutan terhadap usaha SI yang berusaha menyadarkan rakyat akan politik. Pemerintah mulai melarang pembentukan Central Serikat Islam (CSI) pada 30 Juni 1913.

 

 

 

 

 

 

Namun, larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di Surabaya (1915). Umat Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah kolonial menjadi tunapolitik, justru sekarang bangkit berjuang menyadarkan rakyat untuk menuntut pemerintah sendiri. Kebangkitan Islam yang demikian menarik perhatian kaum bangsawan. Di Bandung SI yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M) sebagai ketua, Abdul Muis (1883-1959 M) sebagai wakil ketua, dan A. Widiadisastra sebagai sekretaris telah mendapat dukungan dari Bupati Wiranatakusumah. Kelanjutannya memungkinkan SI menyelenggarakan Kongres Nasional CSI ketiga di Bandung (17-24 Juni 1916). Dalam Kongres ini Cokroaminoto mengajak rakyat untuk tidak takut lagi menyatakan tuntutanya yakni memiliki Pemerintahan sendiri.

 

B.     Strategi perjuangan pangeran diponegoro saat masa penjajahan belanda

Pangeran Diponegoro adalah salah satu pahlawan yang berjasa bagi Indonesia. Ia seorang keturunan dari Keraton Yogyakarta bersama dengan rakyat Indonesia ia melawan pemerintahan Belanda yang dimulai pada tahun 1825 hingga 1830. Lima tahun berperang dengan Belanda telah memakan korban jiwa dan kerugian yang cukup banyak dialami oleh dua pihak oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa perang tersebut merupakan perang dengan korban jiwa paling besar di Indonesia.

Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November di Yogyakarta. Ia adalah putra pertama dari Hamengkubuwana III yang pada saat itu menjabat sebagai Raja ke tiga di Kesultanan  Yogyakarya. Ibunya bernama R.A.Mangkarawati, seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan.

Pangeran Diponegoro mempunyai nama asli, yaitu Bendara Raden Mas Antowirya. Ia pernah menolak tawaran dari Sultan Hamengkuwuana III, untuk mengangkatnya sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta. Salah satu alasannya menolak tawaran tersebut adalah mengingat ibunya bukanlah permaisuri (istri raja yang pertama).

Walaupun merupakan keturunan ningrat, Diponegoro lebih suka pada kehidupan yang merakyat sehingga membuatnya lebih suka tinggal di Tegalrejo yang merupakan tempat tinggal dari eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo daripada di Keraton.

-          Perang Diponegoro (1825-1830)

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah di Indonesia. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Salah faktor kuat yang mempengaruhi terjadinya Perang Diponegoro adalah saat pihak Belanda memasang patok di tanak milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Setelah kekalahan Belanda dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan keuangan mereka dengan memberlakukan pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda (Indonesia). Belanda juga melakukan monopoli perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan.

 

Pajak­ dan praktek monopoli tersebut yang dilakukan oleh Belanda membuat rakyat Indonesia menderita. Tidak hanya itu, untuk memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha untuk menguasai kerajaan-­kerajaan di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat sebagai Raja Kesultanan sehingga membuat pemerintahan pada waktu itu dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda.

Pangeran Diponegoro memulai pemberontakannya terhadap keraton karena Patih Danuredjo sangat mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda banyak mengubah susunan tata cara kehidupan di Keraton. Sejak saat itulah pemberontakan dilakukan oleh Diponegoro karena ia menganggap bahwa Belanda tidak menghargai adat istiadat setempat dan menarik pajak kepada masyarakat setempat untuk kepentingan pihak Belanda. Perang yang terjadi antara pribumi yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dengan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jendral De Kock. Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro untuk menentang Belanda mendapat dukungan dari rakyat. Atas saran dari pamannya, ia membuat sebuah markas di Gua Selarong. Semenjak saat itu, ia mulai menyatakan untuk perang melawan Belanda. Perang Sabil itulah nama perlawanan dari Diponegoro yang mempunyai maksud “perlawanan menghadapi kaum kafir“.

Perang Sabil membawa pengaruh sampai luas hingga ke wilayah Jawa. Salah satu seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangannya mendapat dukungan dari Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Belanda juga melakukan sayembara untuk penangkapan Pangeran Diponegoro, yang dimana siapa yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan diberi hadiah oleh Belanda mengingat saat peperangan yang dimulai pada tahun 1825 hingga 1830 tersebut beliau sering berpindah-pindah tempat.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.

Pada tanggal 28 Maret 1830, saat Jenderal De Kock membuat sebuah perundingan yang dimana ia meminta agar langsung bertemu dengan Pangeran Diponegoro di Magelang, namun dalam perundingan tersebut Belanda sudah menyiapkan rencana untuk menangkap Diponegoro. Beliau menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggotanya dilepaskan.

Diponegoro mengalami pengasingan selama beberapa kali mulai dari Ungaran, Batavia, Manado, hingga Makassar. Pada tanggal 8 Januari 1855, beliau meninggal dunia di Benteng Rotterdam. Selama berlangsungnya peperangan ini Belanda mengalami kerugian dari segi finansial dan pasukan yang gugur saat berperang.

 

 

 

 

 

C.     Sejarah awal mula masa reformasi itu muncul

a.       Reformasi Menurut Perspektif Islam

Reformasi adalah perubahan kepada yang lebih baik. Antonim dari kata reformasi adalah deformasi. Oleh karena itu, gerakan reformasi merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk memperbaiki praktek-praktek dehumanisasi dan amoral, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pelbagai bidang kehidupan, sebagai upaya membangun kehidupan yang lebih makmur dan sentosa.

Dalam perspektif pemikiran sosial barat, ditemukan perbedaan antara reformasi dan revolusi. Revolusi menurutnya yaitu perubahan secara total dan komprehensip, sedangkan reformasi adalah perubahan secara parsial dan periferal. Di sini bisa dianalisa, bahwa pemikiran sosial barat berusaha untuk menyempitkan konotasi reformasi. Tapi apabila dilihat dari perspektif Islam, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara reformasi dan revolusi, baik dari aspek kedetailan perubahan yang dilakukan maupun keluasan cakupannya. Hanya saja kita dapatkan sedikit perbedaan dalam instrumen operasionalnya. Misalnya dalam skala mayoritas, revolusi identik dengan menggunakan cara kekerasan, sedangkan reformasi tidak seperti itu. Namun kendatipun demikian, kedua istilah tersebut mempunyai sasaran yang cukup mendetail, total dan komprehensip, tidak parsial seperti yang didengungkan oleh barat. Reformasi dalam Islam berjalan secara proses atau menurut B.J. Habibie reformasi adalah proses evolusi yang dipercepat. Reformasi harus dimulai dari manusia sebagai pelaku. Oleh karena itu sebelum melakukan perubahan yang total dan detail dalam sebuah masyarakat, syarat utama yang perlu dilakukan yaitu perubahan pada diri manusia.

Maka dari itu, ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Rasul disebut dengan panggilan-panggilan reformasi (Da'awat al-Ishlah) yaitu upaya-upaya yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan dari akar atau realitas yang lebih optimal. Nabi Syu'aib menyatakan bahwa dakwah yang disampaikan kepada penduduk Madyan hanya sebagai upaya reformasi (al-Ishlah). Nabi Musa mewanti-wanti kepada nabi Harun as, sebagai khalifahnya agar mentradisikan reformasi dan menjauhi jalan orang-orang yang berbuat kerusakan. Ini artinya, bahwa sejak dahulu kala tabi'at manusia cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar, di luar batas kemanusiaannya. Sehingga tidak aneh apabila kezaliman, kepongahan, kerusakan dan keangkuhan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Allah dengan kekuasaanNya menurunkan nabi dan rasul untuk menjadi reformer yang di antara tugasnya menebarkan benih-benih kebaikan dan menumpas kebatilan.

 

 

 

 

 

 

 

Dalam konteks reformasi yang menyeluruh, al-Qur'an dan Hadis senantiasa mengajarkan kepada umat untuk mensosialisasikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai karakteristik umat alternatif. Allah berfirman, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”. Reformasi yang disebut oleh teks-teks agama harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat -tanpa terkecuali kalangan elite, menengah maupun arus bawah- serta seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial-budaya. Rasulullah bersabda, “Kalau seandainya Fatimah mencuri, niscaya akan saya potong tangannya”. Reformasi sejak zaman nabi tidak pandang bulu, baik itu sanak keluarga maupun orang lain harus disamaratakan, berlandaskan keadilan dan kemaslahatan umum. Karena menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan atau kemungkaran tidak mengenal keturunan dan golongan tertentu (nepotisme).

Dari diskripsi di atas jelas bahwa Islam sebagai agama universal telah menggarisbawahi ajaran reformasi sebagai salah satu tiang atau prasyarat dalam membangun sebuah masyarakat ideal. Tanpa reformasi, negara yang utama niscaya tidak akan dapat diwujudkan (al-Madinah al-Fadlilah).

 

b.      Paradigma Reformasi dalam Sejarah

Empat abad pertama dalam sejarah Islam merupakan masa puncak kejayaan umat yang telah menorehkan tinta emas, baik dalam bidang ilmu maupun peradaban secara umum. Menurut para sejarawan umat Islam hampir mendirikan negara adikuasa. Ruang lingkup keilmuannya telah mampu mengakumulasikan ilmu-ilmu India, Persia, Yunani dan Romawi, kemudian umat melakukan upaya-upaya konvergensi dan melahirkan kreasi-kreasi baru. Sejarah mencatat bahwa Baghdad, Mesir, Damaskus, Cordova merupakan basis peradaban yang terbesar di dunia. Sehingga tak ayal apabila orang-orang barat datang berbondong-bondong untuk mengambil ‘ibrah, mempelajari peradabannya dan melakukan kodifikasi.

Namun kondisi tersebut tidak berjalan secara linier. Pasca empat abad awal, umat dirundung kemunduran, kelemahan dan keterbelakangan. Kekacauan yang melanda umat Islam membuka peluang bagi orang-orang lain untuk melakukan ekspansi dan eksploitasi, sehingga datanglah perang Salib yang mampu menyingkirkan Asia Kecil dan menguasai Yerussalem. Pada abad ke XVII M. Mongolia mampu menguasai sebagian besar negara-negara Islam. Maksud mereka bukan hanya sekedar imperealisme, tapi juga merusak peradaban, ilmu dan seni yang berada di Baghdad. Pada akhir abad ke XVIII seorang pelancong dari Prancis, Moseu Volney berkunjung ke Mesir dan tinggal di Syam selama empat tahun, berkata, “Sesungguhnya kebodohan yang menimpa negara ini cukup global, hal tersebut terlihat dalam seluruh aspek kebudayaan dan produksinya, sehingga apabila jam tangan kamu rusak, maka kamu tidak menemukan orang yang dapat memperbaikinya, kecuali hanya orang asing”.

 

 

 

Pada saat itu pemerintahan Mesir khawatir untuk melegalisasikan belajar matematika dan fisika. Suatu ketika pemerintah bertanya kepada Syaikh al-Azhar, Syaikh Muhammad al-Ambabi, “Apa hukumnya umat Islam mempelajari ilmu-ilmu matematika dan ilmu pengetahuan lainnya?”, dengan penuh hati-hati syaikh menjawab, “Sesungguhnya hal itu boleh-boleh saja dengan syarat manfaat dan mempelajarinya harus diperjelas”. Jawaban ini bisa diinterpretasikan, bahwa ilmu-ilmu tersebut seakan-akan bukan kreasi umat Islam.

Dengan ini, umat Islam berada pada posisi yang termarjinalkan. Umat Islam tidak lagi berhubungan dengan Eropa, sebagaimana dialog keilmuan yang masyhur pada pemerintahan Abbasiah, antara Harun al-Rasyid dengan orang-orang Yunani.Umat Islam tidak lagi konsern dengan ilmu pengetahuan, produksi dan sistim pemerintahan, tapi justru mereka konsern dengan buku-buku fikih, nahwu dan sharaf an sich. Ilmu menurut umat Islam pada saat itu hanya sekedar buku-buku keagamaan yang simbolistik, kalimat yang diungkapkan, manuskrip yang dihafalkan, atau tulisan-tulisan yang diuraikan dan diperjelas. Begitu halnya dalam hal politik, mereka hanya memahaminya sebagai konflik yang berkepanjangan antara pemimpin. Setiap pemimpin mempunyai partai, dan setiap partai mengintai kawasan rivalnya. Sehingga pemerintahan diidentikkan dengan kepentingan pribadi, kezaliman dan kekerasan. Dan nampak secara riil, umat Islam diibaratkan kakek tua yang keropos terhempas angin peristiwa. Islam telah kehilangan wibawa dan eksistensinya, Islam dipahami sebagai praktek-praktek formalitas, yang tidak sensitif dengan ruh kenyataan dan kekinian. Keberhasilan dalam hidup bukan karena kesungguh-sungguhan dalam bekerja, namun karena memohon dari kuburan dan minta tawassul dari para wali-wali.

Berdasarkan kondisi obyektif umat Islam tersebut, maka lahirlah para reformer berusaha untuk memperbaiki keterbelakangan dan kekacauan yang dihadapi umat. Karena kalau tidak diambil sikap antisipatif, maka umat akan semakin ketinggalan kereta peradaban, di mana barat telah terlalu jauh meninggalkan kita. Dengan ilmu dan kebebasan, barat maju dalam hal produksi dan mampu menemukan teori-teori baru, sehingga mampu melahirkan peradaban serta merta melakukan tekanan-tekanan terhadap negara-negara berkembang, yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Untuk itu, reformasi merupakan sebuah tuntutan.

 

a. Peran Para Reformer dalam Memecahkan Problematika Umat.

“Manusia adalah makhluk yang bersejarah.” Secara aksiomatis pernyataan ini bisa diterima akal, tanpa harus dijabarkan lebih panjang. Manusia dengan dinamika yang bergonta-ganti dalam hidupnya telah menyimpan pelbagai peristiwa/kejadian yang nota bene sarat dengan problematika. Hal ini merupakan kandungan filosofis dari kehidupan, di dalamnya terdapat kebaikan dan kejahatan. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa setiap seratus tahun Allah Swt. akan mengutus orang yang akan memperbarui agamanya.

 

 

Di sini, seorang reformer membawa tugas yang berat untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dalam lingkungan di mana ia hidup. Pertama, risalah ketuhanan seperti yang diamanatkan oleh hadis tersebut, bahwa kejahatan yang tergolong sebagai patologi sosial harus diberantaskan dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, risalah kemanusiaan.

Bahwa hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi untuk mewujudkan stabilitas hidup dan keadilan yang hakiki. Karena selama kebebasan berpendapat, memilih, bersikap belum teralisasikan, maka mustahil sebuah tatanan masyarakat bisa berjalan stabil dan normal. Untuk melihat peran reformer dalam sejarah Islam, maka perlu disampaikan beberapa kontribusinya dalam menyikapi pelbagai permasalahan yang bergulir dalam masyarakat. Dalam bidang politik, kita mengenah istilah totaliter, otoritier dan diktator yaitu pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak, terutama diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis.

Praktek yang semacam ini merupakan salah satu trik penguasa yang berkembang dalam sejarah umat untuk merealisasikan kepentingan pribadinya. Oleh karena itu al-Kawakibi ketika melihat gerak-gerik pemerintah yang totalitarian dan diktator, serta tidak berpedoman kepada hukum dan keinginan rakyat, ia langsung melakukan reformasi. Menurutnya pemerintah yang diktator adalah lawan dari kebenaran dan kebebasan, bahkan justru membunuhnya.

Karakteristik dari kediktatoran seorang pemimpim yaitu tidak menghendaki adanya ilmu. Karena ilmu adalah cahaya, sedang pemimpin diktator menginginkan agar rakyatnya hidup dalam kegelapan. Dengan kepongahan rakyatnya ia dengan bebas dan mudah dapat melaksanakan kekuasaannya. Semakin bodoh sebuah masyarakat, semakin mudah penguasa diktator untuk merampas harta mereka dan kemudian mensedekahkan sebagiannya saja kepada rakyat supaya dikatakan dermawan. Pemerintahan diktator akan mempengaruhi terhadap ekonomi sebuah negara, sehingga tidak aneh apabila krisis ekonomi dengan cepat menimpa sebuah negara. Selain itu, pemerintah diktator berusaha untuk menghilangkan nilai-nilai keutamaan yang hakiki dalam diri manusia dan menggantikannya dengan kepentingan-kepentingan semu. Dalam hal ini, sistem yang digunakan dalam pemerintahannya yaitu dimulai dari bawah ke atas(bottom up). Artinya tunduk kepada atasan dan diktator kepada bawahan. Sehingga yang terjadi adalah berpacu untuk menaikkan pangkat, bukan kebersamaan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dengan demikian, pemerintahan otoriter dan diktator sama sekali tidak menampakkan demokrasi dan keadilan sosial. Karena sistem pemerintahannya dimotori oleh segelintir orang yaitu orang-orang yang mempunyai visi dan gagasan yang sama.

 

 

 

 

 

Konsekuensi logis dari kediktatoran akan merusak moral dan akhlak suatu masyarakat. Karena keutamaan dan kemanusiaan sudah dipolesi dengan kepentingan sekelompok orang saja. Justru menurut al-Kawakibi bahwa kediktatoran telah mencemarkan esensi akhlak, kemunafikan menjadi politik, dan merubah keberanian serta kemuliaan seseorang menjadi penakut dan kikir. Di samping itu kediktatoran akan melarang kemajuan suatu kaum. Karenanya, pemerintah diktator senantiasa mengawasi rakyatnya supaya tidak melebihi kekuasaanya atau bahkan iingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di bawah tampuk kepemimpinannya.

Melihat akses negatif dari kediktatoran tadi, maka sebagai pendidikan politiknya para reformer dalam sejarah reformasi berusaha untuk menghilangkan sistem ini dalam sebuah pemerintahan. Misalnya al-Kawakibi ketika menghadapi ‘Arif Pasya yang diktator pada waktu itu, ia menulis sebuah buku yang berjudul, thaba’i’ al-istibdad (tradisi-tradisi kediktatoran). Begitu pula Muhammad Abduh sangat tidak menyetujui kediktatoran pemerintah pada masanya. Secara naluriah, kedikatoran telah menyalahi nilai-nilai kemanusiaan yang diciptakan untuk bermasyarakat, saling menghargai dan saling membantu, tanpa ‘ada udang di balik batu’. Lebih dari itu, Islam dalam pendidikan politiknya secara gamblang telah mengajarkan keadilan, persamaan hak dan kemerdekaan.

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh dalam konsep al-Jami’ah al-Islamiyah mengutarakan, bahwa dalam Islam tidak ada pemerintahan teokratis, namun justru berdiri atas dasar-dasar demokrasi yaitu senantiasa memelihara kepentingan umum. Menurut Muhammad Abduh, dalam berpolitik ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berbicara dan kebebasan memilih.

Kebebasan berpendapat yang dimaksud yaitu pendapat yang berdasarkan qiyas, sesuai dengan hikmah serta mempunyai subtansi dan nilai kebenaran. Kebebasan berbicara yaitu pembicaraan yang mempunyai tujuan baik dan tidak menyinggung perasaan, sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan memilih yaitu memilih untuk kemaslahatan banga dan negara. Untuk mengejawantahkan hal tersebut, al-Qur’an dengan tegas menyeru agar kediktatoran dihilangkan di permukaan bumi dengan cara syura (bermusyawarah). Konsep syura dalam Islam adalah cukup demokratis, karena aspirasi dapat disalurkan dengan jalan musyawarah dan pijakan kebersamaan.

Dalam makna filosofis la ila ha illa Allah, kita bisa memahami bahwa yang berhak untuk dianggap sebagai penguasa otoriter hanya Allah Swt. saja. Semua makhluk harus tunduk atas kekuasaan dan kehendak-Nya. Semua makhluk lemah di hadapanNya. Oleh karena itu selain Allah Swt, semuanya egaliter berpredikat makhluk. Menurut, al-Kawakibi, kalimat ini semakin hari semakin kering dan makna filosofisnya semakin ditinggalkan umat. Barangkali inilah terapi teoritis yang dikembangkan oleh para reformer dalam sejarah Islam, baik Ali Mubarak, Jamaluddin al-Afghani, Qasim Amien, Abdullah al-Nadim dan lain-lain.

 

Dalam terapi praktisnya, para reformer sepakat bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan satunya-satunya jalan untuk mencetak kader-kader yang peka terhadap fenomena sosial. Menurut Dr. Toha Husein bahwa pendidikan dan pengajaran ibarat air dan udara, tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Karena semakin dewasa cara berpikir sebuah masyarakat, maka dialog konstruktif akan tercipta untuk mencapai cita-cita negara, bukan sebaliknya seperti yang dikehendaki pemerintahan otoriter. Maka dari itu Muhammad Abduh mengatakan, “Barang siapa yang menginginkan kemakmuran sebuah negara, maka satu hal yang harus diupayakan yaitu profesionalisasi pendidikan. Kalau hal ini dipenuhi, maka hal-hal yang diinginkan akan tercapai tanpa mengeluarkan daya pikir dan daya otot yang melelahkan.”

 

b. Reformasi dalam Bidang Pemikiran

Permasalahan serius yang dihadapi umat pada saat ini yaitu krisis pemikiran kontemporer. Dalam konteks krisis pemikiran kontemporer ada tiga hal; Pertama,umat dirundung lenyapnya kejelasan visi. Kedua, umat nampak lemah. Kuantitas yang besar bagaikan buih yang mengalir tidak membekas. Ketiga, umat dilanda kemiskinan dalam berkreasi, karena umat cenderung untuk melihat secara individual dan antipati pada proyek peradaban. Di sini dapat diambil benang merah, bahwa masalah keterbelakangan umat disebabkan ulah mereka sendiri. Sehingga ijtihad di kalangan belum menjadi bahasa verbal yang optimal. Munculnya pemikiran-pemikiran baru sangat minim, karena toh walaupun ada, berusaha untuk dikafirkan, dikarenakan tidak sependapat dengan pemikiran para ulama-ulama terdahulu. Atau ‘kebenaran’ sudah dipolitisir oleh pemuka agama. Oleh karena itu, pada satu sisi Muhammad Abduh melihat bahwa keterbelakangan umat, tidak bisa dipungkiri, ada faktor politis yang diinginkan oleh para ulama dan penguasa.

Dalam hal ini untuk melakukan reformasi dalam bidang pemikiran ada tiga langkah yang diajukan oleh Muhammad Abduh; Pertama, membebaskan akal dari tali-tali taklid dan memahami agama sebagaimana salaf selum terjadinya khilaf. Dan berusaha untuk kembali menelusuri sumber-sumber pengetahuan yang orisinil sebagai upaya untuk mengoptimalkan akal manusia dalam menyingkap rahasia-rahasia alam dan hikmah Tuhan di muka bumi dengan menghormati hakekat yang mutlak serta merta mencari argumentasi di balik itu. Kedua, membedakan antara hak negara untuk ditaati dan hak keadilan bagi rakyat. Timbal balik antara arus atas dan arus bawah dalam rangka mereformasi pemikiran sangat urgen.

 

 

 

 

 

 

Dr. Zaki Naguib Mahmud melihat, bahwa peran arus atas (pemerintah) dalam melendingkan kebebasan berpikir dan berpendapat sangat diperlukan. Dalam kesempatan lain Muhammad Abduh berkata: Puncak kesempurnaan agama terletak pada dua hal penting. Pertama, kebebasan bersikap. Kedua, kebebasan berpikir. Apabila dua hal di atas dipenuhi, sempurnalah seseorang untuk menjadi manusia. Hal inipun akan memberikan dorongan untuk menyampaikan apa yang disediakan oleh Allah sesuai dengan fitrah dan kemampuannya. Sebagian filsuf barat modern menyatakan, “sesungguhnya perkembangan modernitas di Eropa berdiri tegak atas dasar ini. Maka jiwa tidak akan sanggup untuk bekerja, akal tidak akan berfungsi sebagai alat untuk menganalisa, setelah mengetahui banyak tentang apa yang ada dalam dirinya, dan ia berhak untuk melakukan ikhtiar dengan kemampuan rasionya untuk mencari kebenaran”. Pemahaman semacam ini ternyata belum sampai kepada generasi kita kecuali pada abad 16 masehi. Mereka dengan tegas menyatakan, “Sesungguhnya hal di atas merupakan cahaya yang terang menderang yang muncul dari para pemikir muslim itu sendiri”.

Islam sama sekali tidak membenarkan sikap para agamawan ketika mereka memperkosa hak para pemeluk agama untuk memahami kitab-kitab samawi. Mereka ( para agamawan ) menggunakan hak monopolui dalam hal ini, sehingga mereka menyepelekan beberapa pendapat yang datang dari kalangan bawah. Di samping itu, mereka mengklaim, bahwa merekalah yang berhak untuk menduduki kursi ‘suci’ tersebut. Maka teks-teks yang disuruh untuk dipahami oleh pemeluk agama sangat minim. Itupun dengan satu catatan, mereka (pemeluk agama) tidak boleh membahas secara detail sehingga keluar dari inti pembahasan. Dengan sikap ekstrim, kemudian mereka larut oleh sikap para pemuka agama serta merta tidak mencoba untuk memahami teks al-Qurân secara mendetail, yaitu dengan menyatakan adanya keterbatasan kapabilitas pemahaman terhadap yang ada dalam teks “syari’at dan Nubuwwât”. Antara pemuka agama dan pemeluk agama memiliki sikap dan pandangan yang sama yang mempercayai adanya suara dan huruf yang didengar. Mereka tidak mendapatkan hikmah dari turunnya kitab. Atau mereka lebih banyak mendengarkan atau membaca apa yang ada dalam kitab saja daripada merenungi isinya.

 

c.       Reformasi dalam penggunaan bahasa Arab, baik dalam bahasa-bahasa resmi maupun pers.

Di sini, Muhammad Abduh melihat bahwa untuk memahami ajaran Islam yang orisinil perlu pengetahuan bahasa Arab yang baik. Karena bahasa merupakan faktor pendukung dalam proses empati terhadap Islam.

Ketiga hal tersebut merupakan kunci-kunci dasar untuk mengembalikan identitas umat yang senantiasa melahirkan pemikiran-pemikiran fleksibel dan sesuai dengan tuntutan zaman. Bukankah Muhammad Abduh pernah berkata, “Apabila terdapat pertentangan antara akal dan teks, maka akal harus didahulukan dari pada teks”. Pernyataan ini tidak lain hanya untuk menghidupkan kembali rasionalitas yang pernah jaya di empat abad pertama dalam Islam.

Peran untuk melakukan kreasi-kreasi baru sebenarnya terdapat pada profile Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw pada satu sisi sebagai Rasulullah yang bertugas untuk menerima dan menyebarkan wahyu-wahyu kepada umat, namun pada sisi lain Ia juga sebagai politikus yang mempunyai ijtihad-ijtihad tersendiri dengan jalan musyawarah. Dengan demikian melahirkan pemikiran yang sesuai dengan tuntutan kontemporer merupakan salah satu paket dari reformasi yang semestinya diagendakan umat.

 

d.      Kontribusi Garapan Reformasi dalam Konteks Keindonesiaan

Upaya-upaya reformasi yang dilakukan di tanah air sebenarnya sudah hampir pada kematangan. Karena sebagian lembaga, instansi dan organisasi senantiasa mendiskusikan untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam hal reformasi. Tapi alangkah baiknya apabila penulis ikut urun rembuk dalam mengajukan beberapa tawaran dalam konteks reformasi, sehingga sebagai kader bangsa bisa berbuat yang lebih maksimal dalam membangun Indonesia Baru. Dalam hal ini dari tulisan di atas, penulis mempunyai kontribusi garapan reformasi dalam konteks ke-Indonesia-an. Pertama, bahwa dalam hal perbedaan seputar visi terhadap reformasi perlu diadakan dialog dan purifikasi yang mengarah pada ke-Bhineka-an. Hal ini menurut penulis belum berjalan secara optimal. Yang nampak di pelupuk mata, bahwa gerakan reformasi masih bercampur baur dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu, terlepas dari niat baik. Misalnya, pluralisme partai yang menurut data sudah mencapai 68 partai— mencerminkan pluralisme yang kurang aspiratif.

Yang perlu dipikirkan justru bagaimana mengakumulasikan aspirasi-aspirasi yang datang dari pluralisme partai tadi. Kedua, bahwa yang harus diprioritaskan dalam langkah reformasi yaitu pemecahan terhadap masalah-masalah yang sangat mendesak. Artinya bentuk-bentuk yang formalistik dan simbolistik hendaknya dinomerduakan. Sebab sekarang kita sedang berpacu dengan waktu. Oleh karena itu, perlu penyatuan barisan untuk saling mengkerucutkan pembahasan reformasi seputar masalah-masalah yang krusial. Ketiga, bahwa dalam masa reformasi ini sensitif memunculkan emosi dari kalangan arus bawah. Maka dari itu, perlu diadakan pendewasaan pendidikan politik. sehingga rakyat tidak terbawa emosi dikarenakan hal-hal yang sifatnya sekunder dan lebih dari itu untuk menghindar dari disintegrasi. Keempat, bahwa selain konsep-konsep yang brilian tentang reformasi, juga dibutuhkan mental-mental pemimpin yang merakyat atau membumi di kalangan masyarakat Indonesia. Sehingga visi tanggung jawab lebih didahulukan dari pada visi individual dan kepentingan.

Dengan demikian, reformasi merupakan risalah suci yang harus dimulai dari pribadi masing-masing dan kemudian meliputi seluruh lapisan masyarakat. Pada intinya setiap kalangan harus menyadari perlunya kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

 

Keberhasilan Belanda menghadapi masyarakat Islam di Nusantara tidak lepas dari keberhasilan Belanda ‘mempelajari’ ajaran Islam di Indonesia. Belanda mengakui bahwa perlawanan yang dilakukan masyarakat pribumi salah satunya karena diinspirasi oleh ajaran Islam. Namun, penindasan Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia. Islam juga dijadikan lambang perlawanan imperialisme. Tidak hanya terbatas kalangan grass root, golongan bangsawan dan sultan pun menyatukan dirinya menunjang perjuangan Islam. Islam tidak hanya sebagai agama tetapi dihayatinya sebagai way of life.

Masa Jepang pun demikian, dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijakan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal penedekatannya, Jepang memeprlihatkan sikap bersahabat. Karena Jepang berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi Sekutu. Tetapi tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol. Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol.

Selain itu, pergerakan Islam di Timur Tengah ternyata membawa dampak yang positif bagi pergerakan di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin dan tokoh-tokoh lainya bertambah luas. Hiruk pikuk gerakan–gerakan Islam yang berkembang di Timur Tengah ( abad 19-20 ) seiring dengan waktu menjalar sampai di Indonesia yang pada waktu itu semangat nasionalisme baru tumbuh. Pengaruh pembaharuan itu diterima baik secara langsung (belajar di Makkah dan Mesir ) maupun secara tidak langsung ( melalui majalah al Urwatul Wusqa dan buku-buku pembaharuan yang lain ).

Organisasi dan partai yang muncul menjelang kemerdekaan di antaranya: Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), Sarikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama. Kemudian organisasi yang muncul pasca kemerdekaan, di antaranya yaitu; Masyumi, Masyumi ini berbeda dengan Masyumi pada zaman Jepang, Masyumi ini dimaksudkan sebagai partai persatuan umat Islam; Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), setelah keluar dari Masyumi PSII membentuk satu partai yang independen; Nahdlotul Ulama, mengikuti jejak PSII, NU mengubah dirinya sebagai organisasi gerakan sosial-keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri.

Jika diperhatikan, ternyata munculnya partai-partai justru setelah adanya proklamasi kemerdekaan. Sementara pada masa penjajahan lebih di dominasi oleh organisasi-organisasi sosial dan keagamaan. Hal ini berhubungan dengan pasal 28 UUD 1945.

 

 

 

 

 

 

B.     Saran

Demikianlah makalah yang pemakalah susun. Pemakalah berusaha membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya, tetapi kami juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan demi perbaikan makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Catatan Kaki

  1. Amien, Ahmad, min Zu’ama’a al-Ishlah, Hay’ah al-Mishriyah al-’Ammah li al-Kitab, Kairo, 1996 halaman 5
  2. Amien, Ahmad, Ibid.
  3. Amien, Ahmad, Ibid. halaman 7
  4. Amien, Ahmad Ibid. halaman 42-44
  5. Imarah, Dr. Muhammad, al-’A’mal al-Kamilah al-Imam Muhammad Abduh, Dar el-Shorouk, Kairo, 1993, halaman 105-120.
  6. Imarah, Dr. Muhammad, Ibid 378
  7. Q.S. ali Imram 3:159, Q.S. al-Syura 42:38
  8. Amien, Ahmad, Op.cit halaman 41
  9. Imarah. Dr. Muhammad, Op.cit halaman 37
  10. Imarah, Dr. Muhammad, Azmah al-Fikr al-Islamy, Dar el-Syarq al-Awsath, Kairo, halaman 9
  11. Imarah, Dr. Muhammad, al-A’mal al-Kamilah al-Imam Muhammad Abduh, halaman 570
  12. Imarah, Dr. Muhammad, Ma’rakah al-Mushthalahat bay al-Islam wa al-Gharb, halaman 136-137

13.  Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989),  hlm. 220.

14.  Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 244.

15.  Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 238.

16.  Machfud Syaefudin, Dinamika peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013),  hlm. 283.

17.  Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 237.

18.  Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 238-239.

19.  Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 244-246.

 

 

 

 

 

Share:

0 comments:

Post a Comment