BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Sejarah
bangsa Indonesia yang banyak menggugurkan para pahlawan dan memiliki filosofi
besar adalah dalam merebut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan tidak
terlepas dari umat Islam. Kaum muslim bersatu dan berjuang melawan para
penjajah yang telah merampas kedaulatan rakyat Indonesia. Mengorbankan segenap
jiwa raga hingga nyawa menjadi taruhannya. Mereka menjadi garda terdepan
melawan penjajahan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal inilah yang
menyebabkan suatu kecaman bagi para penjajah untuk lebih segan dan berhati-hati
terhadap umat Islam terutama yang berada di Pulau Jawa.
Arti kata
Islam berasal dari Bahasa Arab yaitu aslama-yuslimu-islaaman
yang bermakna patuh dan selamat. Secara istilah Islam menurut para ahli
adalah “ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia agar mendapatkan kebahagiaan dunia maupun akhirat”. Orang
yang mengikuti ajaran Islam disebut sebagai muslim bagi laki-laki dan muslimah
bagi perempuan.
Perlawanan
di mulai dari kerajaan-kerajaan Islam kemudian melalui rakyat yang di pimpin
oleh para ulama serta pergerakan sosial yang dilakukan disetiap daerah dengan
memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk ikut serta dalam melawan kolonial
demi merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia.
B. Rumusan
masalah
1.
Bagaimana peran umat islam saat masa
penjajahan belanda?
2.
Bagaimana strategi perjuangan pangeran
diponegoro saat masa penjajahan belanda?
3.
Bagaimana sejarah awal mula masa
reformasi itu muncul?
C. Tujuan
pembuatan makalah
1.
Untuk mengetahui peran umat islam saat
masa penjajahan belanda
2.
Untuk mengetahui strategi
perjuangan pangeran diponegoro at islam
saat masa penjajahan belanda
3.
Untuk mengetahui sejarah awal mula masa
reformasi itu muncul
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peran
umat islam saat masa penjajahan belanda
Belanda pertama kali datang ke Indonesia
tahun 1596 berlabuh di Banten dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan
oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta
mengganti nama Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah
Portugis, yaitu untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap
kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama Katolik
maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat penderitaan kaum
muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Penindasan,
adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan alam sebanyak-banyaknya dan
membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan miskin dan terbelakang adalah kondisi
yang dialami saat itu.
Maka wajarlah jika seluruh umat Islam
Indonesia bangkit dibawah pimpinan para ulama dan santri di berbagai pelosok
tanah air, dengan persenjataan yang sederhana: bambu runjing, tombak dan golok.
Namun mereka bertempur habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan
niat yang sama, yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka :
Hidup mulia atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi
(1879-1952) mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir
hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama
Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti apa yang
diperlihatkan oleh sejarahnya sampai kemerdekaannya”. Sejarah telah
mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam melawan Belanda yang sebagian
besar adalah para Ulama atau para kyai antara lain.
Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng
Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari
Mataram dan Pangeran Diponegoro dari Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari
tahun 1825-1830 bersama panglima lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam
Misbah, Kyai Badaruddin, Raden Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon dalam
perang Diponegoro ini sekitar 200 ribu rakyat dan prajurit Diponegoro yang
syahid, dari pihak musuh tewas sekitar 8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000
orang serdadu bangsa Pribumi. Dari Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan
Muhammad Idris (memimpin perlawanan terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di
daerah Ciomas)
Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku
Imam Bonjol dan Tuanku Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari
kesultanan Aceh misalnya Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku
Cik Ditiro, Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak
Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah,
dan lain-lain.
Namun, penindasan Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu
meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia. Islam juga dijadikan lambang
perlawanan imperialisme. Tidak hanya terbatas kalangan grass root, golongan bangsawan dan
sultan pun menyatukan dirinya menunjang perjuangan Islam. Islam tidak hanya
sebagai agama tetapi dihayatinya sebagai way of life.
a. Ulama Pelopor Pembaruan
Munculnya kelompok ulama ini bukanlah hasil dari vooting, atau dari pengaruh karisma
raja, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu sendiri yang memandang ulama
sebagai kelompok intelektual Islam. Kehadiran ulama dalam masyarakat telah
diterima sebagai pelopor pembaruan, dan pengaruh ulama pun semakin dalam
setelah berhasil membina pesantren.
Pesantren tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan
lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus sebagai wahana
merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi. Karena
di hatinya telah ditanamkan ajaran jihad untuk membela agama, negara, dan
bangsa dengan harta, ilmu, dan jiwanya. Keyakinan ajaran yang dijiwai Islam ini
merupakan faktor psikologis yang sangat penting dalam menghadapi apapun.
Sepintas, ulama hanya terlihat sekadar sebagai pembina pesantren.
Akan tetapi peranannya dalam sejarah cukup militan. Kelanjutan dari
pengaruh ulama yang demikian luas tidak hanya terbatas di bidang politik dan
militer saja, melainkan juga bidang ekonomi. Pasar tidak hanya merupakan
kegiatan jual-beli barang dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah.
b. Membangkitkan Gerakan Nasional
Para ulama mencoba menggerakan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang
sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya
motivasinya bangkit kembali di bidang ekonomi perdagangan. Untuk keperluan ini,
H. Samanhudi (1868-1956 M) mendirikan Serekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905.
Setahun kemudian diubahnya menjadi Serekat Islam (SI)
H. Samanhudi dalam usahanya membangkitkan motivasi ekonomi perdagangan dan
politik, tidak menempuh jalan membentuk organisasi politik. Sebab, saat itu
kegiatan partai politik (parpol) dilarang oleh pemerintah Belanda, karenanya
didirikanlah SDI atau SI. Tetapi Belanda melihatnya dari segi lain, bahwa
dengan adanya organisasi atau perserikatan diartikan sebagai usaha membina
persatuan, sebagai cara baru dalam Kebangkitan Islam. Apalagi aktivitas SDI
selanjutnya membentuk kerja sama dagang antara Islam dan Cina Kong Sing.
Sedangkan Belanda sejak abad ke-18, berusaha mencegah asimilasi antara Cina
dan Islam. Menurut Mansur dalam Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, kesatuan
Cina dengan umat Islam akan mudah dijalaninya, karena latar belakang sejarahnya
memudahkan kesatuan tersebut. Sebagai semisal hubungan umat Islam Cirebon
dengan Cina pada abad ke-15, yang dikisahkan dalam Carita Purwaka Caruban
Nagari bahwa panglima Wai Ping dan Laksamana Te Bo beserta pengikutnya
mendirikan mercusuar di bukit Gunung Jati.
Kesatuan Cina dalam Susuhunan Mataram yang disertai dengan masuknya Cina ke
dalam agama Islam, mengilhami Belanda untuk melahirkan kebijakan yang berusaha
memisahkan asimilasi antara Islam dengan Cina. Cina, di satu pihak, dicegah
untuk mendapatkan monopoli atas tanah dan merampas tanah milik orang-orang
Jawa; di lain pihak, suatu kemajuan menuju asimilasi Cina ke dalam masyarakat
Jawa akan melahirkan kesatuan masyarakat baru, berusaha dicegah oleh Belanda.
Kebijakan Belanda yang mencegah terjadinya asimilasi pada abad ke-20 adalah
terletak pada latar belakang sejarah mereka (Cina dan Indonesia). Negara Cina
juga sedang berjuang menentang imperialism Barat, sedangkan Indonesai memiliki
sejarah yang sama. Karena itu bila terjadi asimilasi berarti mempercepat proses
gulung tikarnya Belanda di Indonesia.[7]
c. Kesatuan Islam-Priyayi
Pendekatan Islam terhadap kelompok priyayi sebenarnya bukan barang baru.
Sejak awal persatuan antara Islam (ulama) dengan priyayi telah terjadi. Hanya politik divide and rule Belanda berhasil
memisahkan keduanya, karena Belanda hanya menghendaki adanya plural society (masyarakat
majemuk) yang tidak bersatu.
Usaha pendekatan Islam dengan kelompok priyayi mulai dirintis oleh K.H
Ahmad Dahlan (1868-1923 M). Peristiwa
ini terjadi sebelum beliau mendirikan Muhammadiyah. Pada 1909 K.H Ahmad Dahlan
mencoba menyampaikan kuliah agama Islam kepada anggota Budi Utomo, dengan
harapan kontak dengan Budi Utomo yang berangotakan priyayi dan guru-guru, dapat
mengembangkan kuliahnya ke seluruh sekolah atau rakyat bawahannya.
Usaha pendekatan umat Islam terhadap golongan priyayi pada permulaan abad
ke-20 mulai terlihat santer. Ternyata pengangkatan H.O.S Cokroaminoto (1882-1934 M) sebagai pemimpin SI sangat
tepat. Cokro segera mengadakan reorganisasi, dan SI mulai mendapatkan
pengesahan sebagai badan hukum di depan Notaris B. ter Kuile (10 September
1912). Bila sekilas diamati apa yang tercantum dalam Statuten (Anggaran Dasar)-nya,
memang terlihat jelas SI bukan merupakan gerakan parpol. Sekadar seperti hanya
memajukan kemauan dagang, menolong kesusahan anggota.
Akan tetapi, garakannya jauh dari apa yang tertulis dalam Statulen. Jauh di sini adalah tidak
merupakan ormas yang bergerak terbatas pada bidang perdagangan dan sosial saja.
Hanya dalam waktu empat bulan SI telah sanggup mengadakan Kongres I di Surabaya
(26 Januari 1913). Kongres ini mendapatkan dukungan massa rakyat yang luar
biasa. Balanda ketakutan terhadap usaha SI yang berusaha menyadarkan rakyat
akan politik. Pemerintah mulai melarang pembentukan Central Serikat Islam (CSI)
pada 30 Juni 1913.
Namun, larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di Surabaya (1915). Umat
Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah kolonial menjadi tunapolitik,
justru sekarang bangkit berjuang menyadarkan rakyat untuk menuntut pemerintah
sendiri. Kebangkitan Islam yang demikian menarik perhatian kaum bangsawan. Di
Bandung SI yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M) sebagai ketua, Abdul Muis (1883-1959 M) sebagai wakil ketua, dan A. Widiadisastra sebagai sekretaris
telah mendapat dukungan dari Bupati Wiranatakusumah. Kelanjutannya memungkinkan
SI menyelenggarakan Kongres Nasional CSI ketiga di Bandung (17-24 Juni 1916).
Dalam Kongres ini Cokroaminoto mengajak rakyat untuk tidak takut lagi
menyatakan tuntutanya yakni memiliki Pemerintahan sendiri.
B. Strategi
perjuangan pangeran diponegoro saat masa penjajahan belanda
Pangeran Diponegoro adalah salah satu pahlawan yang berjasa bagi
Indonesia. Ia seorang keturunan dari Keraton Yogyakarta bersama dengan rakyat
Indonesia ia melawan pemerintahan Belanda yang dimulai pada tahun 1825 hingga
1830. Lima tahun berperang dengan Belanda telah memakan korban jiwa dan
kerugian yang cukup banyak dialami oleh dua pihak oleh sebab itu sejarah
mencatat bahwa perang tersebut merupakan perang dengan korban jiwa paling besar
di Indonesia.
Pangeran
Diponegoro lahir pada tanggal 11 November di Yogyakarta. Ia adalah putra
pertama dari Hamengkubuwana III yang pada saat itu menjabat sebagai Raja ke
tiga di Kesultanan Yogyakarya. Ibunya bernama R.A.Mangkarawati, seorang
garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan.
Pangeran
Diponegoro mempunyai nama asli, yaitu Bendara Raden Mas Antowirya. Ia pernah menolak tawaran dari Sultan
Hamengkuwuana III, untuk mengangkatnya sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta.
Salah satu alasannya menolak tawaran tersebut adalah mengingat ibunya bukanlah
permaisuri (istri raja yang pertama).
Walaupun
merupakan keturunan ningrat, Diponegoro lebih suka pada kehidupan yang merakyat
sehingga membuatnya lebih suka tinggal di Tegalrejo yang merupakan tempat
tinggal dari eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I,
Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo daripada di Keraton.
-
Perang Diponegoro
(1825-1830)
Perang
Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda
selama menjajah di Indonesia. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa,
maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Salah faktor kuat yang
mempengaruhi terjadinya Perang Diponegoro adalah saat pihak Belanda memasang
patok di tanak milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Setelah kekalahan Belanda
dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan
ekonomi berusaha menutup kekosongan keuangan mereka dengan memberlakukan pajak
di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda (Indonesia). Belanda juga
melakukan monopoli perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan.
Pajak dan
praktek monopoli tersebut yang dilakukan oleh Belanda membuat rakyat Indonesia
menderita. Tidak hanya itu, untuk memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya,
Belanda mulai berusaha untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, salah
satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV
wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun,
diangkat sebagai Raja Kesultanan sehingga membuat pemerintahan pada waktu itu
dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda.
Pangeran
Diponegoro memulai pemberontakannya terhadap keraton karena Patih Danuredjo
sangat mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda banyak mengubah
susunan tata cara kehidupan di Keraton. Sejak saat itulah pemberontakan
dilakukan oleh Diponegoro karena ia menganggap bahwa Belanda tidak menghargai
adat istiadat setempat dan menarik pajak kepada masyarakat setempat untuk kepentingan
pihak Belanda. Perang yang terjadi antara pribumi yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dengan
pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jendral
De Kock. Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro untuk
menentang Belanda mendapat dukungan dari rakyat. Atas saran dari pamannya, ia
membuat sebuah markas di Gua Selarong. Semenjak saat itu, ia mulai menyatakan
untuk perang melawan Belanda. Perang Sabil itulah nama perlawanan dari
Diponegoro yang mempunyai maksud “perlawanan
menghadapi kaum kafir“.
Perang Sabil
membawa pengaruh sampai luas hingga ke wilayah Jawa. Salah satu seorang tokoh
agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua
Selarong. Perjuangannya mendapat dukungan dari Sunan Pakubuwana VI dan Raden
Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Belanda juga melakukan sayembara
untuk penangkapan Pangeran Diponegoro, yang dimana siapa yang dapat menangkap
Pangeran Diponegoro akan diberi hadiah oleh Belanda mengingat saat peperangan
yang dimulai pada tahun 1825 hingga 1830 tersebut beliau sering
berpindah-pindah tempat.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan
penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga
Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap.
Pada tanggal
28 Maret 1830, saat Jenderal De Kock membuat sebuah perundingan yang dimana ia
meminta agar langsung bertemu dengan Pangeran Diponegoro di Magelang, namun
dalam perundingan tersebut Belanda sudah menyiapkan rencana untuk menangkap
Diponegoro. Beliau menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa
anggotanya dilepaskan.
Diponegoro mengalami pengasingan
selama beberapa kali mulai dari Ungaran, Batavia, Manado, hingga Makassar. Pada
tanggal 8 Januari 1855, beliau meninggal dunia di Benteng Rotterdam. Selama
berlangsungnya peperangan ini Belanda mengalami kerugian dari segi finansial
dan pasukan yang gugur saat berperang.
C. Sejarah
awal mula masa reformasi itu muncul
a.
Reformasi Menurut Perspektif
Islam
Reformasi
adalah perubahan kepada yang lebih baik. Antonim dari kata reformasi adalah
deformasi. Oleh karena itu, gerakan reformasi merupakan usaha-usaha yang
dilakukan oleh sekelompok manusia untuk memperbaiki praktek-praktek
dehumanisasi dan amoral, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam
pelbagai bidang kehidupan, sebagai upaya membangun kehidupan yang lebih makmur
dan sentosa.
Dalam
perspektif pemikiran sosial barat, ditemukan perbedaan antara reformasi dan
revolusi. Revolusi menurutnya yaitu perubahan secara total dan komprehensip,
sedangkan reformasi adalah perubahan secara parsial dan periferal. Di sini bisa
dianalisa, bahwa pemikiran sosial barat berusaha untuk menyempitkan konotasi
reformasi. Tapi apabila dilihat dari perspektif Islam, bahwa sebenarnya tidak
ada perbedaan yang mencolok antara reformasi dan revolusi, baik dari aspek
kedetailan perubahan yang dilakukan maupun keluasan cakupannya. Hanya saja kita
dapatkan sedikit perbedaan dalam instrumen operasionalnya. Misalnya dalam skala
mayoritas, revolusi identik dengan menggunakan cara kekerasan, sedangkan
reformasi tidak seperti itu. Namun kendatipun demikian, kedua istilah tersebut
mempunyai sasaran yang cukup mendetail, total dan komprehensip, tidak parsial
seperti yang didengungkan oleh barat. Reformasi dalam Islam berjalan secara
proses atau menurut B.J. Habibie reformasi adalah proses evolusi yang
dipercepat. Reformasi harus dimulai dari manusia sebagai pelaku. Oleh karena
itu sebelum melakukan perubahan yang total dan detail dalam sebuah masyarakat,
syarat utama yang perlu dilakukan yaitu perubahan pada diri manusia.
Maka dari
itu, ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Rasul disebut dengan
panggilan-panggilan reformasi (Da'awat
al-Ishlah) yaitu upaya-upaya yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan
dari akar atau realitas yang lebih optimal. Nabi Syu'aib menyatakan bahwa
dakwah yang disampaikan kepada penduduk Madyan hanya sebagai upaya reformasi (al-Ishlah). Nabi Musa mewanti-wanti
kepada nabi Harun as, sebagai khalifahnya agar mentradisikan reformasi dan
menjauhi jalan orang-orang yang berbuat kerusakan. Ini artinya, bahwa sejak
dahulu kala tabi'at manusia cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar,
di luar batas kemanusiaannya. Sehingga tidak aneh apabila kezaliman,
kepongahan, kerusakan dan keangkuhan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Allah dengan kekuasaanNya menurunkan
nabi dan rasul untuk menjadi reformer yang di antara tugasnya menebarkan
benih-benih kebaikan dan menumpas kebatilan.
Dalam konteks
reformasi yang menyeluruh, al-Qur'an dan Hadis senantiasa mengajarkan kepada
umat untuk mensosialisasikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai karakteristik umat
alternatif. Allah berfirman, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan
beriman kepada Allah”. Reformasi yang disebut oleh teks-teks agama harus
melibatkan seluruh lapisan masyarakat -tanpa terkecuali kalangan elite,
menengah maupun arus bawah- serta seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi,
politik, sosial-budaya. Rasulullah bersabda, “Kalau seandainya Fatimah mencuri,
niscaya akan saya potong tangannya”. Reformasi sejak zaman nabi tidak pandang
bulu, baik itu sanak keluarga maupun orang lain harus disamaratakan, berlandaskan
keadilan dan kemaslahatan umum. Karena menegakkan kebenaran dan menumpas
kebatilan atau kemungkaran tidak mengenal keturunan dan golongan tertentu
(nepotisme).
Dari
diskripsi di atas jelas bahwa Islam sebagai agama universal telah
menggarisbawahi ajaran reformasi sebagai salah satu tiang atau prasyarat dalam
membangun sebuah masyarakat ideal. Tanpa reformasi, negara yang utama niscaya
tidak akan dapat diwujudkan (al-Madinah al-Fadlilah).
b.
Paradigma Reformasi dalam
Sejarah
Empat abad
pertama dalam sejarah Islam merupakan masa puncak kejayaan umat yang telah
menorehkan tinta emas, baik dalam bidang ilmu maupun peradaban secara umum.
Menurut para sejarawan umat Islam hampir mendirikan negara adikuasa. Ruang
lingkup keilmuannya telah mampu mengakumulasikan ilmu-ilmu India, Persia,
Yunani dan Romawi, kemudian umat melakukan upaya-upaya konvergensi dan
melahirkan kreasi-kreasi baru. Sejarah mencatat bahwa Baghdad, Mesir, Damaskus,
Cordova merupakan basis peradaban yang terbesar di dunia. Sehingga tak ayal apabila
orang-orang barat datang berbondong-bondong untuk mengambil ‘ibrah, mempelajari peradabannya dan
melakukan kodifikasi.
Namun
kondisi tersebut tidak berjalan secara linier. Pasca empat abad awal, umat
dirundung kemunduran, kelemahan dan keterbelakangan. Kekacauan yang melanda
umat Islam membuka peluang bagi orang-orang lain untuk melakukan ekspansi dan
eksploitasi, sehingga datanglah perang Salib yang mampu menyingkirkan Asia
Kecil dan menguasai Yerussalem. Pada abad ke XVII M. Mongolia mampu menguasai
sebagian besar negara-negara Islam. Maksud mereka bukan hanya sekedar
imperealisme, tapi juga merusak peradaban, ilmu dan seni yang berada di
Baghdad. Pada akhir abad ke XVIII seorang pelancong dari Prancis, Moseu Volney
berkunjung ke Mesir dan tinggal di Syam selama empat tahun, berkata,
“Sesungguhnya kebodohan yang menimpa negara ini cukup global, hal tersebut
terlihat dalam seluruh aspek kebudayaan dan produksinya, sehingga apabila jam
tangan kamu rusak, maka kamu tidak menemukan orang yang dapat memperbaikinya,
kecuali hanya orang asing”.
Pada saat
itu pemerintahan Mesir khawatir untuk melegalisasikan belajar matematika dan
fisika. Suatu ketika pemerintah bertanya kepada Syaikh al-Azhar, Syaikh
Muhammad al-Ambabi, “Apa hukumnya umat Islam mempelajari ilmu-ilmu matematika
dan ilmu pengetahuan lainnya?”, dengan penuh hati-hati syaikh menjawab,
“Sesungguhnya hal itu boleh-boleh saja dengan syarat manfaat dan mempelajarinya
harus diperjelas”. Jawaban ini bisa diinterpretasikan, bahwa ilmu-ilmu tersebut
seakan-akan bukan kreasi umat Islam.
Dengan ini,
umat Islam berada pada posisi yang termarjinalkan. Umat Islam tidak lagi
berhubungan dengan Eropa, sebagaimana dialog keilmuan yang masyhur pada
pemerintahan Abbasiah, antara Harun al-Rasyid dengan orang-orang Yunani.Umat
Islam tidak lagi konsern dengan ilmu pengetahuan, produksi dan sistim
pemerintahan, tapi justru mereka konsern dengan buku-buku fikih, nahwu dan
sharaf an sich. Ilmu menurut umat Islam pada saat itu hanya sekedar buku-buku
keagamaan yang simbolistik, kalimat yang diungkapkan, manuskrip yang
dihafalkan, atau tulisan-tulisan yang diuraikan dan diperjelas. Begitu halnya
dalam hal politik, mereka hanya memahaminya sebagai konflik yang berkepanjangan
antara pemimpin. Setiap pemimpin mempunyai partai, dan setiap partai mengintai
kawasan rivalnya. Sehingga pemerintahan diidentikkan dengan kepentingan
pribadi, kezaliman dan kekerasan. Dan nampak secara riil, umat Islam
diibaratkan kakek tua yang keropos terhempas angin peristiwa. Islam telah
kehilangan wibawa dan eksistensinya, Islam dipahami sebagai praktek-praktek
formalitas, yang tidak sensitif dengan ruh kenyataan dan kekinian. Keberhasilan
dalam hidup bukan karena kesungguh-sungguhan dalam bekerja, namun karena
memohon dari kuburan dan minta tawassul dari para wali-wali.
Berdasarkan
kondisi obyektif umat Islam tersebut, maka lahirlah para reformer berusaha
untuk memperbaiki keterbelakangan dan kekacauan yang dihadapi umat. Karena
kalau tidak diambil sikap antisipatif, maka umat akan semakin ketinggalan
kereta peradaban, di mana barat telah terlalu jauh meninggalkan kita. Dengan
ilmu dan kebebasan, barat maju dalam hal produksi dan mampu menemukan
teori-teori baru, sehingga mampu melahirkan peradaban serta merta melakukan
tekanan-tekanan terhadap negara-negara berkembang, yang mayoritas penduduknya
adalah umat Islam. Untuk itu, reformasi merupakan sebuah tuntutan.
a. Peran Para Reformer dalam Memecahkan Problematika Umat.
“Manusia adalah makhluk yang bersejarah.” Secara
aksiomatis pernyataan ini bisa diterima akal, tanpa harus dijabarkan lebih
panjang. Manusia dengan dinamika yang bergonta-ganti dalam hidupnya telah
menyimpan pelbagai peristiwa/kejadian yang nota bene sarat dengan problematika.
Hal ini merupakan kandungan filosofis dari kehidupan, di dalamnya terdapat
kebaikan dan kejahatan. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam sebuah
hadis disebutkan, bahwa setiap seratus tahun Allah Swt. akan mengutus orang
yang akan memperbarui agamanya.
Di sini, seorang reformer membawa tugas yang berat
untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dalam lingkungan di mana ia hidup. Pertama, risalah ketuhanan seperti
yang diamanatkan oleh hadis tersebut, bahwa kejahatan yang tergolong sebagai
patologi sosial harus diberantaskan dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, risalah kemanusiaan.
Bahwa hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi
untuk mewujudkan stabilitas hidup dan keadilan yang hakiki. Karena selama
kebebasan berpendapat, memilih, bersikap belum teralisasikan, maka mustahil
sebuah tatanan masyarakat bisa berjalan stabil dan normal. Untuk melihat peran
reformer dalam sejarah Islam, maka perlu disampaikan beberapa kontribusinya
dalam menyikapi pelbagai permasalahan yang bergulir dalam masyarakat. Dalam
bidang politik, kita mengenah istilah totaliter, otoritier dan diktator yaitu
pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak, terutama diperoleh melalui
kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis.
Praktek yang semacam ini merupakan salah satu trik
penguasa yang berkembang dalam sejarah umat untuk merealisasikan kepentingan
pribadinya. Oleh karena itu al-Kawakibi ketika melihat gerak-gerik pemerintah
yang totalitarian dan diktator, serta tidak berpedoman kepada hukum dan
keinginan rakyat, ia langsung melakukan reformasi. Menurutnya pemerintah yang
diktator adalah lawan dari kebenaran dan kebebasan, bahkan justru membunuhnya.
Karakteristik dari kediktatoran seorang pemimpim yaitu
tidak menghendaki adanya ilmu. Karena ilmu adalah cahaya, sedang pemimpin
diktator menginginkan agar rakyatnya hidup dalam kegelapan. Dengan kepongahan
rakyatnya ia dengan bebas dan mudah dapat melaksanakan kekuasaannya. Semakin
bodoh sebuah masyarakat, semakin mudah penguasa diktator untuk merampas harta
mereka dan kemudian mensedekahkan sebagiannya saja kepada rakyat supaya
dikatakan dermawan. Pemerintahan diktator akan mempengaruhi terhadap ekonomi
sebuah negara, sehingga tidak aneh apabila krisis ekonomi dengan cepat menimpa
sebuah negara. Selain itu, pemerintah diktator berusaha untuk menghilangkan
nilai-nilai keutamaan yang hakiki dalam diri manusia dan menggantikannya dengan
kepentingan-kepentingan semu. Dalam hal ini, sistem yang digunakan dalam
pemerintahannya yaitu dimulai dari bawah ke atas(bottom up). Artinya tunduk
kepada atasan dan diktator kepada bawahan. Sehingga yang terjadi adalah berpacu
untuk menaikkan pangkat, bukan kebersamaan untuk mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur. Dengan demikian, pemerintahan otoriter dan diktator sama
sekali tidak menampakkan demokrasi dan keadilan sosial. Karena sistem
pemerintahannya dimotori oleh segelintir orang yaitu orang-orang yang mempunyai
visi dan gagasan yang sama.
Konsekuensi logis dari kediktatoran akan merusak moral
dan akhlak suatu masyarakat. Karena keutamaan dan kemanusiaan sudah dipolesi
dengan kepentingan sekelompok orang saja. Justru menurut al-Kawakibi bahwa
kediktatoran telah mencemarkan esensi akhlak, kemunafikan menjadi politik, dan
merubah keberanian serta kemuliaan seseorang menjadi penakut dan kikir. Di
samping itu kediktatoran akan melarang kemajuan suatu kaum. Karenanya,
pemerintah diktator senantiasa mengawasi rakyatnya supaya tidak melebihi
kekuasaanya atau bahkan iingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di bawah
tampuk kepemimpinannya.
Melihat akses negatif dari kediktatoran tadi, maka
sebagai pendidikan politiknya para reformer dalam sejarah reformasi berusaha
untuk menghilangkan sistem ini dalam sebuah pemerintahan. Misalnya al-Kawakibi
ketika menghadapi ‘Arif Pasya yang diktator pada waktu itu, ia menulis sebuah
buku yang berjudul, thaba’i’
al-istibdad (tradisi-tradisi kediktatoran). Begitu pula Muhammad
Abduh sangat tidak menyetujui kediktatoran pemerintah pada masanya. Secara
naluriah, kedikatoran telah menyalahi nilai-nilai kemanusiaan yang diciptakan
untuk bermasyarakat, saling menghargai dan saling membantu, tanpa ‘ada udang di
balik batu’. Lebih dari itu, Islam dalam pendidikan politiknya secara gamblang
telah mengajarkan keadilan, persamaan hak dan kemerdekaan.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh dalam konsep al-Jami’ah
al-Islamiyah mengutarakan, bahwa dalam Islam tidak ada pemerintahan teokratis,
namun justru berdiri atas dasar-dasar demokrasi yaitu senantiasa memelihara
kepentingan umum. Menurut Muhammad Abduh, dalam berpolitik ada tiga hal yang
harus diperhatikan yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berbicara dan
kebebasan memilih.
Kebebasan berpendapat yang dimaksud yaitu pendapat
yang berdasarkan qiyas, sesuai dengan hikmah serta mempunyai subtansi dan nilai
kebenaran. Kebebasan berbicara yaitu pembicaraan yang mempunyai tujuan baik dan
tidak menyinggung perasaan, sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan memilih
yaitu memilih untuk kemaslahatan banga dan negara. Untuk mengejawantahkan hal
tersebut, al-Qur’an dengan tegas menyeru agar kediktatoran dihilangkan di permukaan
bumi dengan cara syura (bermusyawarah). Konsep syura dalam Islam adalah cukup
demokratis, karena aspirasi dapat disalurkan dengan jalan musyawarah dan
pijakan kebersamaan.
Dalam makna filosofis la ila ha illa Allah, kita bisa memahami bahwa yang berhak untuk
dianggap sebagai penguasa otoriter hanya Allah Swt. saja. Semua makhluk harus
tunduk atas kekuasaan dan kehendak-Nya. Semua makhluk lemah di hadapanNya. Oleh
karena itu selain Allah Swt, semuanya egaliter berpredikat makhluk. Menurut,
al-Kawakibi, kalimat ini semakin hari semakin kering dan makna filosofisnya
semakin ditinggalkan umat. Barangkali inilah terapi teoritis yang dikembangkan
oleh para reformer dalam sejarah Islam, baik Ali Mubarak, Jamaluddin
al-Afghani, Qasim Amien, Abdullah al-Nadim dan lain-lain.
Dalam terapi praktisnya, para reformer sepakat bahwa
pendidikan dan pengajaran merupakan satunya-satunya jalan untuk mencetak
kader-kader yang peka terhadap fenomena sosial. Menurut Dr. Toha Husein bahwa
pendidikan dan pengajaran ibarat air dan udara, tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Karena semakin dewasa cara berpikir sebuah masyarakat, maka
dialog konstruktif akan tercipta untuk mencapai cita-cita negara, bukan
sebaliknya seperti yang dikehendaki pemerintahan otoriter. Maka dari itu
Muhammad Abduh mengatakan, “Barang siapa yang menginginkan kemakmuran sebuah
negara, maka satu hal yang harus diupayakan yaitu profesionalisasi pendidikan.
Kalau hal ini dipenuhi, maka hal-hal yang diinginkan akan tercapai tanpa
mengeluarkan daya pikir dan daya otot yang melelahkan.”
b. Reformasi dalam Bidang Pemikiran
Permasalahan serius yang dihadapi umat pada saat ini
yaitu krisis pemikiran kontemporer. Dalam konteks krisis pemikiran kontemporer
ada tiga hal; Pertama,umat dirundung lenyapnya kejelasan visi. Kedua, umat
nampak lemah. Kuantitas yang besar bagaikan buih yang mengalir tidak membekas.
Ketiga, umat dilanda kemiskinan dalam berkreasi, karena umat cenderung untuk
melihat secara individual dan antipati pada proyek peradaban. Di sini dapat
diambil benang merah, bahwa masalah keterbelakangan umat disebabkan ulah mereka
sendiri. Sehingga ijtihad di kalangan belum menjadi bahasa verbal yang optimal.
Munculnya pemikiran-pemikiran baru sangat minim, karena toh walaupun ada, berusaha
untuk dikafirkan, dikarenakan tidak sependapat dengan pemikiran para
ulama-ulama terdahulu. Atau ‘kebenaran’ sudah dipolitisir oleh pemuka agama.
Oleh karena itu, pada satu sisi Muhammad Abduh melihat bahwa keterbelakangan
umat, tidak bisa dipungkiri, ada faktor politis yang diinginkan oleh para ulama
dan penguasa.
Dalam hal ini untuk melakukan reformasi dalam bidang
pemikiran ada tiga langkah yang diajukan oleh Muhammad Abduh; Pertama,
membebaskan akal dari tali-tali taklid dan memahami agama sebagaimana salaf
selum terjadinya khilaf. Dan berusaha untuk kembali menelusuri sumber-sumber
pengetahuan yang orisinil sebagai upaya untuk mengoptimalkan akal manusia dalam
menyingkap rahasia-rahasia alam dan hikmah Tuhan di muka bumi dengan
menghormati hakekat yang mutlak serta merta mencari argumentasi di balik itu.
Kedua, membedakan antara hak negara untuk ditaati dan hak keadilan bagi rakyat.
Timbal balik antara arus atas dan arus bawah dalam rangka mereformasi pemikiran
sangat urgen.
Dr. Zaki Naguib Mahmud melihat, bahwa peran arus atas
(pemerintah) dalam melendingkan kebebasan berpikir dan berpendapat sangat
diperlukan. Dalam kesempatan lain Muhammad Abduh berkata: Puncak kesempurnaan
agama terletak pada dua hal penting. Pertama, kebebasan bersikap. Kedua,
kebebasan berpikir. Apabila dua hal di atas dipenuhi, sempurnalah seseorang
untuk menjadi manusia. Hal inipun akan memberikan dorongan untuk menyampaikan
apa yang disediakan oleh Allah sesuai dengan fitrah dan kemampuannya. Sebagian
filsuf barat modern menyatakan, “sesungguhnya perkembangan modernitas di Eropa
berdiri tegak atas dasar ini. Maka jiwa tidak akan sanggup untuk bekerja, akal
tidak akan berfungsi sebagai alat untuk menganalisa, setelah mengetahui banyak
tentang apa yang ada dalam dirinya, dan ia berhak untuk melakukan ikhtiar
dengan kemampuan rasionya untuk mencari kebenaran”. Pemahaman semacam ini
ternyata belum sampai kepada generasi kita kecuali pada abad 16 masehi. Mereka
dengan tegas menyatakan, “Sesungguhnya hal di atas merupakan cahaya yang terang
menderang yang muncul dari para pemikir muslim itu sendiri”.
Islam sama sekali tidak membenarkan sikap para
agamawan ketika mereka memperkosa hak para pemeluk agama untuk memahami
kitab-kitab samawi. Mereka ( para agamawan ) menggunakan hak monopolui dalam
hal ini, sehingga mereka menyepelekan beberapa pendapat yang datang dari
kalangan bawah. Di samping itu, mereka mengklaim, bahwa merekalah yang berhak
untuk menduduki kursi ‘suci’ tersebut. Maka teks-teks yang disuruh untuk
dipahami oleh pemeluk agama sangat minim. Itupun dengan satu catatan, mereka
(pemeluk agama) tidak boleh membahas secara detail sehingga keluar dari inti
pembahasan. Dengan sikap ekstrim, kemudian mereka larut oleh sikap para pemuka
agama serta merta tidak mencoba untuk memahami teks al-Qurân secara mendetail,
yaitu dengan menyatakan adanya keterbatasan kapabilitas pemahaman terhadap yang
ada dalam teks “syari’at dan Nubuwwât”. Antara pemuka agama dan pemeluk agama
memiliki sikap dan pandangan yang sama yang mempercayai adanya suara dan huruf
yang didengar. Mereka tidak mendapatkan hikmah dari turunnya kitab. Atau mereka
lebih banyak mendengarkan atau membaca apa yang ada dalam kitab saja daripada
merenungi isinya.
c.
Reformasi dalam penggunaan bahasa Arab, baik dalam bahasa-bahasa
resmi maupun pers.
Di sini, Muhammad Abduh melihat bahwa untuk memahami
ajaran Islam yang orisinil perlu pengetahuan bahasa Arab yang baik. Karena
bahasa merupakan faktor pendukung dalam proses empati terhadap Islam.
Ketiga hal tersebut merupakan kunci-kunci dasar untuk
mengembalikan identitas umat yang senantiasa melahirkan pemikiran-pemikiran
fleksibel dan sesuai dengan tuntutan zaman. Bukankah Muhammad Abduh pernah
berkata, “Apabila terdapat pertentangan antara akal dan teks, maka akal harus
didahulukan dari pada teks”. Pernyataan ini tidak lain hanya untuk menghidupkan
kembali rasionalitas yang pernah jaya di empat abad pertama dalam Islam.
Peran untuk melakukan kreasi-kreasi baru sebenarnya
terdapat pada profile Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw pada satu sisi sebagai
Rasulullah yang bertugas untuk menerima dan menyebarkan wahyu-wahyu kepada
umat, namun pada sisi lain Ia juga sebagai politikus yang mempunyai
ijtihad-ijtihad tersendiri dengan jalan musyawarah. Dengan demikian melahirkan
pemikiran yang sesuai dengan tuntutan kontemporer merupakan salah satu paket
dari reformasi yang semestinya diagendakan umat.
d.
Kontribusi Garapan Reformasi
dalam Konteks Keindonesiaan
Upaya-upaya
reformasi yang dilakukan di tanah air sebenarnya sudah hampir pada kematangan.
Karena sebagian lembaga, instansi dan organisasi senantiasa mendiskusikan untuk
memberikan sumbangsih pemikiran dalam hal reformasi. Tapi alangkah baiknya
apabila penulis ikut urun rembuk dalam mengajukan beberapa tawaran dalam
konteks reformasi, sehingga sebagai kader bangsa bisa berbuat yang lebih
maksimal dalam membangun Indonesia Baru. Dalam hal ini dari tulisan di atas,
penulis mempunyai kontribusi garapan reformasi dalam konteks
ke-Indonesia-an. Pertama,
bahwa dalam hal perbedaan seputar visi terhadap reformasi perlu diadakan dialog
dan purifikasi yang mengarah pada ke-Bhineka-an. Hal ini menurut penulis belum
berjalan secara optimal. Yang nampak di pelupuk mata, bahwa gerakan reformasi
masih bercampur baur dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu, terlepas
dari niat baik. Misalnya, pluralisme partai yang menurut data sudah mencapai 68
partai— mencerminkan pluralisme yang kurang aspiratif.
Yang perlu
dipikirkan justru bagaimana mengakumulasikan aspirasi-aspirasi yang datang dari
pluralisme partai tadi. Kedua,
bahwa yang harus diprioritaskan dalam langkah reformasi yaitu pemecahan
terhadap masalah-masalah yang sangat mendesak. Artinya bentuk-bentuk yang
formalistik dan simbolistik hendaknya dinomerduakan. Sebab sekarang kita sedang
berpacu dengan waktu. Oleh karena itu, perlu penyatuan barisan untuk saling
mengkerucutkan pembahasan reformasi seputar masalah-masalah yang krusial. Ketiga, bahwa dalam masa reformasi
ini sensitif memunculkan emosi dari kalangan arus bawah. Maka dari itu, perlu
diadakan pendewasaan pendidikan politik. sehingga rakyat tidak terbawa emosi
dikarenakan hal-hal yang sifatnya sekunder dan lebih dari itu untuk menghindar
dari disintegrasi. Keempat,
bahwa selain konsep-konsep yang brilian tentang reformasi, juga dibutuhkan
mental-mental pemimpin yang merakyat atau membumi di kalangan masyarakat
Indonesia. Sehingga visi tanggung jawab lebih didahulukan dari pada visi
individual dan kepentingan.
Dengan
demikian, reformasi merupakan risalah suci yang harus dimulai dari pribadi
masing-masing dan kemudian meliputi seluruh lapisan masyarakat. Pada intinya
setiap kalangan harus menyadari perlunya kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keberhasilan Belanda menghadapi masyarakat Islam di Nusantara tidak lepas
dari keberhasilan Belanda ‘mempelajari’ ajaran Islam di Indonesia. Belanda
mengakui bahwa perlawanan yang dilakukan masyarakat pribumi salah satunya
karena diinspirasi oleh ajaran Islam. Namun, penindasan Belanda atas Islam
justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa
Indonesia. Islam juga dijadikan lambang perlawanan imperialisme. Tidak hanya
terbatas kalangan grass root, golongan bangsawan dan sultan pun menyatukan
dirinya menunjang perjuangan Islam. Islam tidak hanya sebagai agama tetapi
dihayatinya sebagai way of life.
Masa Jepang pun demikian, dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya
mempunyai kebijakan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal
penedekatannya, Jepang memeprlihatkan sikap bersahabat. Karena Jepang
berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi Sekutu. Tetapi tentara
Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih menyukai hubungan
langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol. Oleh karena itu, Jepang
mengeluarkan maklumat pembubaran parpol.
Selain itu, pergerakan Islam di Timur Tengah ternyata membawa dampak yang
positif bagi pergerakan di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan oleh
Jamaluddin dan tokoh-tokoh lainya bertambah luas. Hiruk pikuk gerakan–gerakan
Islam yang berkembang di Timur Tengah ( abad 19-20 ) seiring dengan waktu
menjalar sampai di Indonesia yang pada waktu itu semangat nasionalisme baru
tumbuh. Pengaruh pembaharuan itu diterima baik secara langsung (belajar di Makkah
dan Mesir ) maupun secara tidak langsung ( melalui majalah al Urwatul Wusqa dan buku-buku
pembaharuan yang lain ).
Organisasi dan partai yang muncul menjelang kemerdekaan di antaranya: Budi
Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), Sarikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama. Kemudian organisasi yang muncul pasca kemerdekaan, di antaranya yaitu;
Masyumi, Masyumi ini berbeda dengan Masyumi pada zaman Jepang, Masyumi ini
dimaksudkan sebagai partai persatuan umat Islam; Partai Sarikat Islam Indonesia
(PSII), setelah keluar dari Masyumi PSII membentuk satu partai yang independen;
Nahdlotul Ulama, mengikuti jejak PSII, NU mengubah dirinya sebagai organisasi
gerakan sosial-keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri.
Jika diperhatikan, ternyata munculnya partai-partai justru setelah adanya
proklamasi kemerdekaan. Sementara pada masa penjajahan lebih di dominasi oleh
organisasi-organisasi sosial dan keagamaan. Hal ini berhubungan dengan pasal 28
UUD 1945.
B.
Saran
Demikianlah
makalah yang pemakalah susun. Pemakalah berusaha membuat makalah ini dengan
sebaik-baiknya, tetapi kami juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif kami
harapkan demi perbaikan makalah di kemudian hari. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Catatan
Kaki
- Amien,
Ahmad, min Zu’ama’a al-Ishlah, Hay’ah al-Mishriyah al-’Ammah li al-Kitab,
Kairo, 1996 halaman 5
- Amien,
Ahmad, Ibid.
- Amien,
Ahmad, Ibid. halaman 7
- Amien,
Ahmad Ibid. halaman 42-44
- Imarah,
Dr. Muhammad, al-’A’mal al-Kamilah al-Imam Muhammad Abduh, Dar el-Shorouk,
Kairo, 1993, halaman 105-120.
- Imarah,
Dr. Muhammad, Ibid 378
- Q.S.
ali Imram 3:159, Q.S. al-Syura 42:38
- Amien,
Ahmad, Op.cit halaman 41
- Imarah.
Dr. Muhammad, Op.cit halaman 37
- Imarah,
Dr. Muhammad, Azmah al-Fikr al-Islamy, Dar el-Syarq al-Awsath, Kairo,
halaman 9
- Imarah,
Dr. Muhammad, al-A’mal al-Kamilah al-Imam Muhammad Abduh, halaman 570
- Imarah,
Dr. Muhammad, Ma’rakah al-Mushthalahat bay al-Islam wa al-Gharb, halaman
136-137
13. Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak
Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 220.
14. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah:
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 244.
15. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah:
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 238.
16. Machfud Syaefudin, Dinamika peradaban Islam (Yogyakarta:
Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hlm. 283.
17. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah:
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 237.
18. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah:
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 238-239.
19. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah:
Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, hlm. 244-246.
0 comments:
Post a Comment